Darurat Pendidikan Indonesia: Penurunan Literasi dan Numerasi, Apakah Kurikulum Merdeka Solusi?

Penurunan literasi dan numerasi siswa Indonesia telah menjadi perhatian penting dalam evaluasi pendidikan nasional, terutama dengan merosotnya skor Program for International Student Assessment (PISA) dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, skor PISA untuk kemampuan membaca (literasi) tercatat sebesar 397 dan mengalami penurunan menjadi 359 pada 2022. Tren serupa terlihat pada kemampuan matematika yang turun dari 386 menjadi 366, serta pada sains dari 403 menjadi 383 dalam periode yang sama. Penurunan ini menempatkan Indonesia pada peringkat keenam dari delapan negara ASEAN yang berpartisipasi dalam PISA, hanya berada di atas Filipina dan Kamboja. Kondisi ini mencerminkan tantangan besar bagi kualitas pendidikan Indonesia, khususnya dalam aspek literasi dan numerasi, yang merupakan keterampilan dasar yang dibutuhkan siswa untuk menghadapi era globalisasi yang semakin kompetitif.

Menyadari urgensi peningkatan kompetensi matematika dan literasi, Presiden Prabowo menunjuk Abdul Muti sebagai Menteri Pendidikan yang baru, dengan instruksi khusus untuk memprioritaskan peningkatan pembelajaran matematika, terutama di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Hal ini didasari oleh kesadaran akan lemahnya kemampuan matematika siswa Indonesia, yang berdampak pada rendahnya tingkat literasi dan numerasi, dengan dimulainya masa pemerintahan yang baru, harapan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan pun semakin tinggi, termasuk terhadap kemungkinan adanya perubahan kurikulum yang lebih relevan dan efektif dalam menjawab tantangan zaman.

Namun, kekhawatiran akan perubahan kurikulum yang terlalu sering masih menjadi isu yang mengemuka. Tercatat, sejak Indonesia merdeka, sudah ada sebelas kali perubahan kurikulum, baik di era Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Setiap kurikulum bertujuan menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman, namun pergeseran ini kerap dianggap belum matang dan malah membingungkan, terutama bagi guru, siswa, dan orang tua. Perubahan yang sering ini dinilai menghambat konsistensi proses belajar-mengajar, mengingat implementasi setiap kurikulum membutuhkan adaptasi yang tidak singkat. Kurikulum Merdeka yang baru saja diluncurkan pada masa pemerintahan sebelumnya, diharapkan mampu menciptakan pembelajaran yang lebih dinamis dan kontekstual. Namun, hingga kini masih banyak tantangan dalam implementasinya, terutama di daerah-daerah terpencil.

Menurut mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, Kurikulum Merdeka memang mengadopsi pendekatan dari Finlandia yang lebih memberikan kebebasan bagi siswa dalam proses belajar, namun ia mengingatkan bahwa perlu ada penyesuaian dengan konteks budaya Indonesia. Berbeda dengan Cina dan India yang menerapkan pendekatan yang lebih terstruktur dan fokus pada kebutuhan industri, Kurikulum Merdeka dianggap kurang relevan jika implementasinya tidak disertai perubahan yang mendasar dalam paradigma mengajar. Ia juga menyoroti bahwa konsep Kurikulum Merdeka seharusnya tidak hanya memberi kebebasan dalam belajar, tetapi juga dalam proses penilaian yang seharusnya tidak mengharuskan siswa berada dalam format atau sistem yang seragam.

Penghapusan Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur kompetensi siswa juga membawa dampak yang cukup signifikan. Di satu sisi, penghapusan UN membuka ruang bagi sekolah untuk mengembangkan penilaian yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Di sisi lain, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya disparitas yang lebih besar dalam standar kompetensi antarsekolah, terutama di wilayah yang akses pendidikannya masih terbatas.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan bahwa meskipun Kurikulum Merdeka sudah diterapkan, skor literasi dan numerasi siswa Indonesia tetap rendah. FSGI menilai bahwa paradigma pengajaran sebagian besar guru dan kepala sekolah masih mengutamakan keseragaman dalam proses belajar-mengajar, yang justru bertentangan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang seharusnya lebih fleksibel dan kontekstual.

Implementasi Kurikulum Merdeka yang belum merata di daerah-daerah terpencil juga menambah tantangan bagi pemerataan kualitas pendidikan. Masih banyak sekolah di pelosok yang belum memiliki akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, sehingga penerapan kurikulum baru ini tidak dapat berlangsung secara optimal. Ketimpangan infrastruktur ini menyebabkan siswa di daerah terpencil tidak mendapatkan kesempatan yang setara dalam mengakses pendidikan berkualitas. Hal ini memperbesar kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan akademis siswa di daerah terpencil yang semakin tertinggal.

Publik menanti keputusan final dari pemerintah terkait kurikulum pendidikan dasar yang akan diterapkan dalam masa pemerintahan baru ini. Harapan masyarakat adalah kurikulum yang tidak hanya relevan dengan tuntutan zaman, tetapi juga mampu mempermudah proses belajar-mengajar. Kurikulum yang diharapkan oleh masyarakat adalah kurikulum yang dapat meningkatkan kecerdasan siswa Indonesia, baik dalam aspek intelektual maupun emosional, serta mampu mencetak generasi yang memiliki daya saing global. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan pendidikan yang komprehensif, yang tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga mampu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan berkeadilan.

Syufriadi Ibrahim,  Program Doktor Manajemen Strategi Universitas Negeri Jakarta